Abd. Kadir 343 DIRASAT ISLAMIYAH.

344 Dirasat Islamiyah Kehidupan para khalifah dan bangsawan yang berlebihan ini tidak pernah terjadi dan dipraktikkan pada zaman Nabi. Kemudian kehidupan semacam itu mendapat reaksi keras terutama dari shahabat yang masih hidup pada masa itu. Sebagai protes dan rekasi terhadap kehidupan khalifah dan bangsawan itu; mereka tetap hidup dalam kesederhanaan dan memakai kain wool terbuat dari bulu domba kasar sebagai lambang perlawannya. Namun kehidupan mereka tidak semata- mata melambangkan kesederhanaannya, tetapi juga me- neruskan tradisi hidup zuhud mereka yang dijalaninya sejak zaman Nabi. Dalam kehidupan zuhudnya mereka tidak saja menghindari kemewahan, tetapi juga meng- hindari kehidupan tercela lainnya guna meningkatkan kehidupan asketiknya dalam mendekati taqarub Tuhan dengan mengerjakan banyak amalan-amalan kebaikan. Mereka juga ‘uzlah meninggalkan komunitas masyarakat dari hiruk pikuknya masalah politik yg sedang marak pada saat itu dan mereka khulwah ber- mukim di tempat sepi dan tertutup untuk berkonsentrasi memperbanyak zikir dan tafakkur. Ulama Syi’ah yang banyak menentang penguasa Bani ‘Umayah banyak melakukan uzlah pada akhir abad I H. Pada abad II H para sufi melakukan praktik asketik yang sangat ekstrim dengan menganggap kehi- dupan duniawi sebagai kehidupan yang sangat profan. Praktik-praktik asketik yang dilakukannya melebihi dari praktik-praktik asketik para shahabat besar. Mereka menghindari kehidupan dunia sedemikian rupa dan tidak menaruh perhatian yang cukup kepada materi.

H. Abd. Kadir 345

Mereka lebih senang dengan kehidupan uzlah, zuhud, faqir, sebagai akibat saking cintanya kepada Tuhan. Namun hal yang sangat memperihatinkan pada abad ini adalah pertentangan sufi dengan ulama-ulama non sufi. Sebagian ulama-ulama sufi beranggapan bahwa dirinya sebagai hamba yang mampu memahmi makna hakiki dari setiap ibadahnya, sedangkan ulama non sufi di- anggap hanya terjebak pada formalisme ajaran agama dan tidak pernah menemukan makna yang sebenarnya. Reaksi ulama non sufi adalah menuduh sufi sudah menyeleweng dari prinsip dasar akidah Islam. Tokoh sufi masa ini dapat disebutkan: Hasan al-Bashri, Malik bin Dinar Wafat di Basrah 131 H748 M, Ja’far al-Shadiq, Sofyan al-Tsauri, Rabi’ah al-‘Adawiyyah, Ibrahim bin A’dham. Perkembangan Tasawuf Abad III dan IV H ditan- dai dengan perkembangan pelembagaan pengalaman sufi melalui tulisan-tulisan dalam kitab yang mereka susun. Selain itu diskusi sampai debat ilmiah tentang tasawuf marak terjadi, sehingga menyebabkan paham tasawuf pada masa ini berkembang semakin pesat. Pada masa ini mulai tampak praktik tasawuf sunni disamping pemikiran tasawuf secara falsafi. Kemajuan tasawuf falsafi semakin berkembang seiring dengan berkem- bangnya filsafat. Kelompok terakhir ini mempergunakan filsafat sebagai metode pembahasan tasawuf, dan hasil pembahasannya disusun dalam kitab-kitab mereka. Tokoh-tokoh tasawuf di abad III H, antara lain: Dzu-al- Nun al-Mishri. 346 Dirasat Islamiyah Pada abad IV pengaruh tasawuf falsafi semakin kuat, tetapi reaksi aliran tasawuf sunni juga menguat dengan semakin banyaknya penulis kitab tasawuf . Masa ini ditandai semakin berkembangnya ajaran tasawuf yang menisbatkan manusia dengan Tuhan. Tasawuf yang semacam ini disebut tasawuf falsafi, karena pemiki- rannya berasal dari teori-teori filsafat. Dan ini sangat bertentangan dengan pandangan sufi dari aliran sunni. Tokoh-tokoh sufi pada zaman ini: Abu Yazid al- Bustami, al-Hallaj, Abu Nashr al-Sarraj al-Ţhusi, al Kalabadzi wafat di Bukhara 380 H, Abu Thalib al- Makki wafat di Bagdad 386 H. al-Junayd al-Baghdadi wafat di Baqdad 279 H 910 M. Disinyalir bahwa perkembangan tasawuf pada abad V H. dilakukan tanpa memerhatikan doktrin Islam yang lain, seperi: ilmu fiqh dan atau ilmu tawhid. Pertentangan yang tajam antara tokoh-tokoh ulama non sufi dengan ahli tasawuf disatu sisi, dan pertentangan antara sufi sunni dengan sufi falsafi disisi lain menjadi ajang yang menimbulkan fitnah yang sangat merugikan umat Islam. Mereka memisahkaan secara tegas antara keilmuan dan praktik tasawuf dengan doktrin ilmu keislaman yang lain. Akibatnya timbul anggapan bahwa pelaksanaan doktrin keislaman itu dilaksanakan sesuai dengan domein yang ditekuninya. Sebagian ahli tasawuf beranggapan bahwa ajaran tasawuf yang terpisah itu tidak perlu disinergikan dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Para mutasawifin ahli tasawuf beranggapan bahwa tidak perlu memerhatikan prinsip-prinsip yang terdapat dalam ilmu lain dalam pengembangan ilmu