Abd. Kadir 315 DIRASAT ISLAMIYAH.

316 Dirasat Islamiyah Tuhan. Dan pemahaman seperti ini berada dalam wacana spiritual yang dalam khazanah keislaman disebut dengan tasawwuf. 1 B. Pengertian Tasawuf Melacak pengertian tasawuf merupakan pekerjaan yang tidak sederhana. Kata ini ditengarai berasal dari beberapa kata. Ada kemungkinan bersumber dari kata awshaf; yaitu sifat-sifat; dalam arti sifat-sifat yang baik sebagaimana dilakukan oleh para ahli tasawuf. Mungkin juga dari kata shafwah; artinya pilihan; dalam arti manusia pilihan Allah. Bisa juga berasal dari kata shufuf; artinya barisan, karena orang sufi selalu berada pada barisan pertama dalam menyembah Tuhan. Dan bisa bersumber dari kata shafaan; artinya kebersihan yaitu kejernihan hati bagi para shufi. Dilihat dari busananya yang biasanya berasal dari bulu domba kasar shuf wool sebagai sandangnya, maka mereka seringkali disebut dengan sufi. Bisa jadi kata itu berasal dari beberapa shahabat yang diberi nama oleh Nabi sendiri sebagai ahl al-shuffah penghuni gubuk-gubuk yang dibangun di samping masjid Madinah. Para penghuni shuffah maupun para pemakai wool itu adalah orang yang hidup sederhana dan kehidupan seperti itu tetap dipertahankan walaupun Nabi sudah wafat. Kemung- kinan lain juga kata tasawuf berasal dari istilah sofos atau sofis. -istilah Yunani- diperuntukkan kepada ahli hikmah orang bijak. 1 M.Sholihin, Melacak Pemikiran Tasawwuf di Nusantara , Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 5.

H. Abd. Kadir 317

Secara terminologi tasawufsufi adalah orang yang memutus hubungan dengan makhluk, tetapi memba- ngun hubungan dengan Tuhan. 2 Atau tasawuf adalah secara lahir melakukan perbuatan yang mengandung nilai syar’iyah, sehingga hikmahnya dapat dirasakan dari lahir menuju batin, dan secara batin hikmahnya dirasakan sampai lahir. 3 Dengan demikian, tasawuf merupakan upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan dengan kedekatan yang sedekat-dekatnya dengan menjauhkan dan menghilangkan pengaruh makhluk sejauh-jauhnya dengan melaksanakan perintah agama, sehingga sesuatu yang dilakukannya secara lahir meresap sampai sanubarinya. Sebaliknya sesuatu yang dirasakan oleh sanubarinya memancar pada prilaku lahir. Tradisi sufi selalu mengutamakan kesucian hati, kebersihan perilakunya, supaya seluruh perbuatannya bebas dari kelalaian mengingat Tuhannya. Dengan tujuan seperti itu para sufi ingin membangun hubungan yang intim dengan Tuhan tanpa dihalangi dengan pernak pernik kehidupan dunyawiyah. Kecintaan terha- dap kehidupan dunia dan terlalu mengutamakan kehi- dupan yang penuh dengan kesenangan hawa nafsu kehidupan hedonis mengakibatkan seseorang lalai ber- ibadah dan melupakan kehidupan akhirat, menjauhkan 2 Abu al Qasim Al-Qusyayri, Risalah al-Qusyayriyah fi Ilm al Tashawwuf, Biyrut: Dar al-Khair, [tt], hlm, 282 3 Abu al Hasan Ali bin Muhammad bin Ali al Husayni al Hanafi Al Jurjan, al-Ta’rifat, Biyrut : Dar al-Kutub, tt., hlm. 63. 318 Dirasat Islamiyah hubungan manusia dengan Tuhan. Orang yang terlibat dalam kehidupan tersebut, selalu resah jiwanya . 4 Untuk mencapai derajat ini mereka melakukan berbagai kegiatan yang menuju pada tazkiyah al nafs membersihkan jiwa dan menghindari berbagai hal yang mengganggu perjalanannya menuju Tuhan. C. Macam-macam Tasawuf Orang-orang yang secara inten melakukan praktik asketik sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Nabi dikenal dengan pengikut tasawuf sunni atau amali. Orientasi mereka adalah bagaimana melaksanakan atau memeraktikkan ajaran yang kemudian diklaim sebagai bagian dari ajaran tasawuf secara baik dan benar. Mereka mengembangkan tasawuf bukan dalam bentuk wacana, melainkan tasawuf dalam bentuk implemen- tatif. Sufi yang masih mempertahankan amalan tasawuf salaf pengamalan tasawuf yang masih sama dengan pengamalan para shahabat dan tabi’in, lalu menamakan ajarannya dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. Termasuk dalam kelompok ini para sufi yang merasa membela corak tasawuf salaf, tetapi ia juga masih mengambil sebagian praktik sufismenya mirip dengan mistik umat terdahulu dengan mengembangkan premis- premis yang belum pernah ada sebelumnya, tetapi mereka beranggapan premis-premis yang mereka kem- bangkan dipandang masih sesuai dengan ketentuan al- 4 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Gazali , Ihya ‘Ulum al Din, Juz III , Bairut, Dar al Fikr, tt, hlm. 198.