Abd. Kadir 311 DIRASAT ISLAMIYAH.

312 Dirasat Islamiyah niat karena Tuhan tetapi karena ingin dilihat, disanjung atau dipuji manusia. Bilamana seseorang terjerumus dalam perbuatan riya berarti ia berada dalam ambang syirik khafi syirik yang samar sebagai akibat tujuan kebai- kan yang dilakukan bukan semata karena Tuhan tetapi karena manusia dan akhirnya dia menuhankan sesuatu yang menjadi sesembahan- nya. Oleh karena itu riya sebagai virus penyakit yang sangat berbahaya karena bersifat lembut samar-samar tapi berdampak luar biasa. QS: Surah al Ma’un:107:4-5 َنﻮُﻫﺎَﺳ ْﻢِِﻼَﺻ ْﻦَﻋ ْﻢُﻫ َﻦﻳِﺬﱠﻟا َﲔﱢﻠَﺼُﻤْﻠِﻟ ٌﻞْﻳَﻮَـﻓ Celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya’. 313 A. Pengantar Pengetahuan dan pengalaman seseorang pada dasarnya adalah keterbukaan terhadap realitas yang tampak pada penginderaan, penalaran, dan spiritual. Indera memperoleh pengalaman empirik sensual dari alam materialnya, sedangkan nalar dapat memikirkan sesuatu untuk memperoleh pengetahuan kognitif, mem- bangun premis-premis secara logis, atau memberikan makna terhadap fakta empirik dan non empirik. Sedang- kan aspek spiritual mempunyai kemampuan untuk mengadakan penyaksian di alam yang tidak mampu dipersepsi dan dikonsepsi oleh indera maupun nalar. Penyaksian itu hanya bisa dicapai oleh aspek spiritual yang disebut dengan hati. Hati ini mampu mengenal sesuatu melalui hakikatnya dan dengan derajat ketinggiannya ia memperoleh ilham. Kapasitas seseorang ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman melalui aspek penginderaan, penalaran dan spiritualnya yang bersatu dalam diri subjek. Pencerahan aspek spiritual secara intuitif untuk mengenal esensi sesuatu supaya makna dan validitasnya terungkap melalui sinaran cahaya Tuhan, sehingga memungkinkan BAB VII STUDI TASAWUF 314 Dirasat Islamiyah seseorang memahami kesalingterkaitan antara domein empirik, rasional, dan spiritual. Kesadaran tentang Tuhan berangkat dari ajaran agama yang kemudian menjadi pemahaman yang intro- vert dalam pengalaman seseorang. Apresiasi terhadap Tuhan seharusnya tidak terbatas pada nilai formalitas- nya dengan hanya melakukan ritualitas ajarannya, tetapi juga perwujudan pengenalan kepada Tuhan melalui pengalaman spiritual. Dengan demikian, kontelasi nilai keagamaan itu tidak sekedar pemahaman dan pengha- yatan, tetapi mencapai pengalamn esoteriknya, sehingga dapat mengungkap maknanya untuk pendalaman peng- hayatan, pengenalan dan perjumpaan dengan-Nya. Sisi esoterik agama menjadi tujuan penting dalam penghayatan dan perolehan pengalaman spiritual dengan membersihkan ikatan yang berhubungan dengan kemajemukan dan memalingkan dari penginderaan yang berdimensi horizontal kepada dimensi vertikal sampai mencapai kefana’an alam semesta dalam kesadarannya. Bila Tuhan berkehendak akan terjadi ketajaman peng- inderaan spiritual sampai seseorang dapat melihat, menyaksikan, atau merasakan bukti-bukti yang benar- benar nyata dari Tuhan tentang hal-hal yang nyata- nyata tinggi, sehingga imannya didasarkan pada muka- syafah, marifah, dan musyahadah, yaitu iman melalui penglihatan spiritual untuk sampai pada hakikatnya. Orientasi dan nilai keberagamaan yang mampu membangunkan spritualitas seseorang perlu dipertim- bangkan. Tanpa nilai spiritual dalam keberagamaan hanya akan menyebabkan hilangnya citarasa ruhaniyah,

H. Abd. Kadir 315

menekan kecerdasan batin, dan berbahaya bagi pengem- bangan moralitasnya. Dengan membangun akses ke alam spiritual yang bersifat ilahiyah maka kekeringan spiritual, kurangnya apresiasi tentang manusia, kemanu- siaan, dan ketuhanan dapat direduksi, sehingga menda- tangkan kearifan dalam melihat alam semesta sebagai cermin kemahakuasaan-Nya. Aspek spiritual dalam hubungan immanennya dapat membangun pengetahuan atau pengalaman yang secara performatif langsung tanpa perantaraan repre- sentasi mental atau simbolisme kebahasaan. Walaupun demikian, pengalaman itu dapat diobjektivikasi setelah direnungi dengan mempergunakan posterior analisis diskursif, walaupun konsekwensi reduksi maknanya tak terhindarkan. Prosesnya sangat ditentukan oleh usaha manusia serta perolehannya bergantung kepada rahmat Tuhan. Hasilnya dapat diwacanakan untuk memberikan pencerahan bagi aspek fisik dan psikis. Dalam konteks ajaran Islam, untuk mengatasi keterasingan jiwa sekaligus membebaskanNya dari derita alienasi keterasingan jiwa justru dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir sebagai eksistensi Dzat yang Mahaabsolut dan tiada batas. Perasaan dan keyakinan semacam inilah yang akan menjadikan kekuatan, kendali dan kedamaian jiwa manusia yang dalam waktu bersamaan akan membawa dampak kongkrit terhadap peningkatan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaannya, sehingga senantiasa merasa dalam pengawasan dan lindungan-Nya. Sangat sulitlah memahami manusia dan kemanusiaan tanpa dilihat ketergantungannya kepada 316 Dirasat Islamiyah Tuhan. Dan pemahaman seperti ini berada dalam wacana spiritual yang dalam khazanah keislaman disebut dengan tasawwuf. 1 B. Pengertian Tasawuf Melacak pengertian tasawuf merupakan pekerjaan yang tidak sederhana. Kata ini ditengarai berasal dari beberapa kata. Ada kemungkinan bersumber dari kata awshaf; yaitu sifat-sifat; dalam arti sifat-sifat yang baik sebagaimana dilakukan oleh para ahli tasawuf. Mungkin juga dari kata shafwah; artinya pilihan; dalam arti manusia pilihan Allah. Bisa juga berasal dari kata shufuf; artinya barisan, karena orang sufi selalu berada pada barisan pertama dalam menyembah Tuhan. Dan bisa bersumber dari kata shafaan; artinya kebersihan yaitu kejernihan hati bagi para shufi. Dilihat dari busananya yang biasanya berasal dari bulu domba kasar shuf wool sebagai sandangnya, maka mereka seringkali disebut dengan sufi. Bisa jadi kata itu berasal dari beberapa shahabat yang diberi nama oleh Nabi sendiri sebagai ahl al-shuffah penghuni gubuk-gubuk yang dibangun di samping masjid Madinah. Para penghuni shuffah maupun para pemakai wool itu adalah orang yang hidup sederhana dan kehidupan seperti itu tetap dipertahankan walaupun Nabi sudah wafat. Kemung- kinan lain juga kata tasawuf berasal dari istilah sofos atau sofis. -istilah Yunani- diperuntukkan kepada ahli hikmah orang bijak. 1 M.Sholihin, Melacak Pemikiran Tasawwuf di Nusantara , Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 5.