Reorientasi Penilaian Pendidikan Matematika

pengembangan penguasaan konsep dan kecakapan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak rutin. Di samping itu isi penilaian seharusnya tidak dibatasi sekedar aspek yang mudah diukur, tetapi harus menghasilkan informasi yang lebih beragam. Hasil tunggal tidak lagi sesuai karena penilaian juga harus menghasilkan informasi tentang proses berpikir siswa dibalik hasil yang ditunjukkan Van den Heuvel-Panhuizen, 1996: 99. Penilaian pada pendidikan matematika seharusnya juga tidak sekedar memberi informasi tentang the pupil’s degree of information and skill Marks, J.M.,dkk., 1975: 348- 349.Pendidikanmatematika memerlukan sistem penilaian yang mampu menjangkau keseluruhan dinamika proses pembelajaran. Penilaian pendidikan matematika seharusnya mampu memberikan informasi: 1 apa yang diketahui siswa, dipemahami, dan yang dilakukan, 2 bagaimana siswa sedang belajar, 3 kesulitan-kesuitanbelajar, apresiasi siswa terhadap belajar dan berprestasi, serta 4 harus menyiapkan mekanisme komunikasi guru dan siswa. Dengan demikian guru memperoleh umpan balik tentang mengajarnya, dan siswa memperoleh umpan balik tentang belajarnyaHoward Tanner and Sonia Jones, 2000: 199.

3. Paradigma Kuantitaf dalam Penilaian Pendidikan Matematika

Sampai saat ini paradigma kuantitatif mempengaruhi sebagian besar dimensi penilaian pendidikan, termasuk pendidikan matematika. Paradigma kuantitatif yang banyak berhubungan dengan kuantifikasi atribut sangat mewarnai, bahkan mendominasi, penilaian pendidikan matematika. Karakteristik matematika yang banyak berkaitan dengan angka, walaupun tidak sepenuhnya,membuat pengaruh paradigma kuantitatif dalam penilaian menjadi tidak tercegah. Tingkat keberhasilan guru mengajar dan siswa belajar direduksi sebatas angka-angka. Angka yang diafiliasikan sebagai hasil belajar matematika diposisikan sebagai standar yang dipersepsikan kaya makna. Padahal sesungguhnya banyak sisi lain pembelajaran matematika yang membutuhkan mekanisme baru untuk mengetahuinya dengan lebih dalam. Paradigma kuantitatif dipertahankan dan semakin dikembangkan karena dianggap memberikan sejumlah keuntungan, antara lain: objektivitas, kuantifikasi, ekonomi, dan generalisasi Sumadi Suryabrata, 1998: 5-7. Objektivitas dianggap dapat diwujudkan melalui penetapan angka terhadap suatu objek sehinggamemberikan cara peyajian data secara terukur, memungkinkan penerapan metode analisis matematis yang powerful, dan tingginya komunikabilitas hasil. Secara ekonomi, walaupun mengembangkan alat ukur baku seringkali diperlukan dana besar, namun sekali alat ukur itu terbentuk, selanjutnya menjadi murah pemanfaatannya. Selain itu, paradigma kuantitatif juga memungkinkan generalisasi hasil lebih terjamin. Banyak generalisasi harus dinyatakan dalam konsep statistika berdasarkan teori probabilitas yang hanya mungkin dilakukan kalau digunakan pengukuran baku. Pengukuran merupakan hal esensial dalam penilaian dengan paradigma kuantitatif, termasuk dalam penilaian pendidikan matematika. Pengukuran menurut Hopkins dan Antes 1979, dalam Purwanto, 2009: 2 adalah pemberian angka pada atribut dari objek, orang atau kejadian yang dilakukan untuk menunjukkan perbedaan dalam jumlah. Sedangkan menurut Djemari Mardhapi 2008: 2, pengukuran pada dasarnya merupakan kegiatan penentuan angka bagi suatu objek secara sistematis. Konsep pengukuran ini menjadi salah satu representasi bagaimana dominasi paradigma kuantitatif dalam penilaian pendidikan matematika. Walaupun pendekatan kuantitatif mengandung banyak keuntungan, tetapi pendekatan ini mengandung keterbatasan yang rawan Sumadi Suryabrata, 1998: 18-19. Keterbatasan utamanya adalah kalau hasil kuantifikasi ini tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Data kuantitatif yang diperoleh lalu diolah, dianalisis, dan disimpulkan. Jika data tidak mencerminkan kondisi sebenarnya, maka hasil analisis dan kesimpulan tidak akan sesuai dengan keadaan sebenarnya, dan seberapa besar penyimpangan itu tidak dapat dideteksi.Konsep pengukuran juga cenderung mereduksi penilaian sebagai kegiatan sebatas penskoran. Padahal menilai pada pendidikan matematika tidaklah sama dengan menskor. Domain belajar matematika terlalu luas dan komplek jika hanya mengandalkan penggalian dan penyajian hasil penilaian dengan angka-angka yang miskin makna.

4. Pendekatan Kualitatif dalamPenilaian Pendidikan Matematika

Penerapan paradigma kuantitatif tidak terbantahkan urgensi dan relevansinya dalam penilaian pendidikan matematika. Akan tetapi domain belajar matematika siswa terlalu luas jika hanya mengandalkan penilaian secara kuantitatif. Pendekatan kuantitaif tidak mampu menangkap seluruh spektrum belajar matematika siswa dandiperlukan pendekatan berbeda untuk mengukur aspek-aspek lain Marks, J.M., dkk., 1975: 348-349. Kuantifikasi dapat mereduksi beberapa aspek penting belajar matematika siswa. Penilaian dalam pembelajaran matematika seharusnya dipahami sebagai proses mengumpulkan informasi yang holistik NCTM, 1995, dalam Robert E. Reys, dkk., 1998: 52.Pembelajaran yang efektif hanya dapat diupayakan dengan penilaian yang berkelanjutan terhadap respon siswa dalam pembelajaran DES 1985, dalam Tanner, H.dan Jones, S., 2000: 201. Penilaian pembelajaran matematika seharusnya terintegrasi dengan proses, bukan sesuatu yang terpisah Robert E. R., dkk., 1998: 52. Tes saja tidak cukup untuk penilaian. Meskipun mampu menyiapkan informasi yang hebat, tetapi tes perlu didukung cara-cara alternatif untuk memperoleh informasi Marks, J.M., dkk, 1975: 357-358. Berbagai pemikiran di atas membawa pada pertimbangan pentingnya melengkapi sistem penilaian pendidikan matematika dengan pendekatan kualitatif. Ide tentang pendekatan kualitatif saat ini lebih banyak dikembangkan di bidang penelitian. Pendekatan ini muncul sebagai respon terhadap paradigma positivistik penelitian kuantitatif. Pandangan kualitatif mendorong penggalian informasi yang lebih mendalam, bukan sekedar angka-angka untuk mewakili atribut subjek amatan.Pada penelitian kuantitatif peneliti lepas dari studi yang diteliti untuk menghindari bias.Untuk memperoleh data yang objektif, pemerolehan data dilakukan dengan mengandalkan instrumen, dan peneliti dalam posisi tidak bisa mengintervensi lagi. Namun, dalam pandangan kualitatif objektivitas bukan pilihan satu- satunya untuk memperoleh data karena banyak sisi subjek amatan memerlukan intervensi subjektif. Keterlibatan peneliti tidak dipinggirkan karena justru peneliti merupakan