Data Rerata Skor Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis Siswa

Tabel 4 . Hasil Analisis Uji perbedaan Dua Rata- Rata Pemahaman Matematis α = 5 BERDASARKAN HASIL Uji t dan Sig2-tailed INTERPRETASI Pendekatan PSR dengan PKv t = 5,21 dan Sig.= 0,00 Terdapat Perbedaan Pendekatan dan KMA Siswa Nilai t masing-masing KMA Tinggi = 2,83 KMA Sedang = 6,92; KMA Rendah = 1,35 Nilai Sig. masing-masing 0,03; 0,00; dan 0,18 Pada KMA Tinggi dan Sedang ada perbedaan. Pada KMA Rendah tidak ada perbedaan Pendekatan dan Level Sekolah Pada Level Baik Nilai t = 5,69 dan Sig.= 0,00 Level Sedang nilai t = 2,07 dan Sig. = 0,04 Pada sekolah level baik dan sedang terdapat perbedaan Pendekatan, Level, dan KMA Siswa Pada Sekolah Level Baik KMA Tinggi t =3,08 KMA Sedang t = 7,08; KMA Rendah t = 1,55 Masing-masing nilai Sig. 0,02, 0,00, dan 0,14 Pada sekolah level Baik KMA Tinggi dan sedang ada perbedaan. Pada KMA Rendah tidak ada perbedaan Pada Sekolah Level Sedang KMA Tinggi t = - KMA Sedang t = 2,61 KMA Rendah t = 0,85 Nilai Sig.-nya masing-masing tidak ada, 0,02 dan 0,40 Pada sekolah level Sedang KMA Tinggi tidak dapat ditentukan. Pada KMA Sedang ada perbedaan, dan pada KMA Rendah tidak ada perbedaan Tabel 5. Hasil Analisis Data Statistik Kemampuan Penalaran Matematis α = 5 Data Statistik Pendekatan Pembelajaran PMSR PMKv Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Mean 24,98 70,84 45,86 21,71 53,86 32,16 Mean Level Baik 28,04 76,27 49,23 23,69 54,55 30,86 Sedang 21,92 65,41 43,49 19,73 53,18 33,45 Mean KMA Tinggi 33,07 85,33 52,27 37,00 74,00 37,00 Sedang 30,18 76,62 46,45 28,57 63,19 34,62 Rendah 19,03 63,39 44,36 14,67 44,37 29,70 Data pada Tabel 5 diuji dengan uji normalitas dan homogenitas, selanjutnya di uji dengan uji perbedaan dua rata-ratam dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Hasil Analisis Uji perbedaan Dua Rata- Rata Kemampuan Penalaran α = 5 BERDASARKAN HASIL Uji Perbedaan dan Sig 2-tailed INTERPRETASI Pendekatan PSR dan PKv t = 7,91 dan Sig.= 0,00 Terdapat Perbedaan Pendekatan dan KMA Siswa Nilai t masing-masing KMA Tinggi = 1,82 KMA Sedang = 4,81; KMA Rendah = 5,98 Nilai Sig. masing-masing 0,11; 0,00; dan 0,00 Pada KMA Tinggi tidak ada perbedaan. Pada KMA Sedang dan Rendah ada perbedaan Pendekatandan Level Sekolah Pada Level Baik Nilai t = 7,37 dan Sig.= 0,00 Level Sedang nilai t = 4,03 dan Sig. = 0,00 Pada sekolah level baik dan sedang terdapat perbedaan Pendekatan, Level, dan KMA Siswa Pada Sekolah Level Baik KMA Tinggi t =1,47 KMA Sedang t = 4,97; KMA Rendah t = 6,08 Masing-masing nilai Sig. 0,19, 0,00, dan 0,00 Pada sekolah level Baik KMA Tinggi tidak ada perbedaan. Pada KMA Sedang dan Rendah ada perbedaan Pada Sekolah Level Sedang KMA Tinggi t = - KMA Sedang t = 1,32 KMA Rendah t = 3,59 Nilai Sig.-nya masing-masing tidak ada, 0,20 dan 0,00 Pada sekolah level Sedang KMA Tinggi tidak dapat ditentukan. Pada KMA Sedang tidak ada perbedaan dan KMA Rendah ada perbedaan

I. Kesimpulan

Berdasarkan analisis hasil penelitian seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Kemampuan pemahaman dan penalaran matematis antara siswa yang pembelajarannya dengan PSR dan siswa PKv ditinjau secara keseluruhan hasilnya sebagai berikut: a terdapat perbedaan kemampuan matematis yang signifikan, yaitu rerata skor gain siswa PSR lebih tinggi daripada siswa PKv. b dan KMA siswa, terdapat perbedaan yang signifikan dalam kemampuan matematis pada siswa KMA sedang, dan rendah, sedangkan pada siswa KMA tinggi tidak ada perbedaan. Bila dilihat dari rerata skor gainnya siswa PSR tetap lebih tinggi dari siswa PKv. c dan level sekolah, terdapat perbedaan kemampuan matematis pada siswa sekolah level baik dan sedang. Bila didasarkan pada rerta skor gain, kemampuan matematis siswa PSR lebih tinggi daripada siswa PKv. Sedangkan antara siswa PSR, siswa pada sekolah level sedang lebih baik dari siswa sekolah level baik. d level sekolah, dan KMA, terdapat perbedaan kemampuan matematis pada siswa KMA sedang dan rendah yang ada pada sekolah level baik dan sedang. Sedangkan kelompok siswa KMA tinggi, baik siswa pada sekolah level baik dan maupun sedang tidak terdapat perbedaaan kemampuan matematis. 2. Pada kemampuan pemahaman, dan penalaran matematis masing-masing, ditinjau: a Berdasarkan pendekatan pembelajaran, terdapat perbedaan yang signifikan dalam kemampuan pemahaman dan penalaran matematis masing -masing. Bila dilihat rerata skor gainnya, siswa PSR lebih tinggi daripada siswa PKv. b Berdasarkan pendekatan pembelajaran dan KMA: i Pada kelompok siswa KMA tinggi tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam kemampuan penalaran matematis antara siswa PSR dan siswa PKv, sedangkan untuk kemampuan pemahaman ada perbedaan. ii Pada kelompok siswa KMA sedang, ada perbedaan kemampuan matematis masing-masing, antara siswa PSR dengan siswa PKv. iii Siswa kelompok siswa KMA rendah, ada perbedaan dalam kemampuan penalaran antara siswa PSR dengan siswa PKv, sedangkan dalam kemampuan pemahaman tidak ada perbedaan kemampuan matematis. c Berdasarkan level sekolah dan pendekatan pembelajaran, maka: i Pada siswa sekolah level baik, ada perbedaan skor gain dalam kemampuan pemahaman dan penalaran antara siswa PSR dengan siswa PKv. ii Pada siswa sekolah level sedang, ada perbedaan kemampuan penalaran matematis antara siswa PSR dengan siswa PKv. d d Berdasarkan level sekolah, pendekatan pembelajaran, dan KMA siswa, maka: i Pada sekolah level baik, untuk siswa KMA tinggi, tidak ada perbedaan dalam kemampuan penalaran matematis, antara siswa PSR dengan siswa PKv, dan dalam kemampuan pemahaman matematis terdapat perbedaan. Pada kelompok siswa KMA sedang, ada perbedaan dalam kemampuan pemahaman dan penalaran matematis, antara siswa PMSR dengan siswa PMKv. Pada kelompok siswa KMA rendah, hanya terdapat perbedaan dalam kemampuan penalaran matematis, sedangkan dalam kemampuan pemahaman tidak terdapat perbedaan kemampuan matematis antara siswa PSR dengan siswa PKv. ii Pada sekolah level sedang untuk siswa KMA tinggi, perbedaannya tidak dapat ditentukan. Pada siswa KMA sedang, ada perbedaan dalam kemampuan pemahaman matematis antara siswa PSR dengan siswa PKv, sedangkan dalam kemampuan penalaran tidak ada perbedaan. Pada siswa KMA rendah, ada perbedaan kemampuan penalaran matematis, sedangkan dalam pemahaman matematis tidak terdapat perbedaan kemampuan matematis antara siswa PMSR dengan siswa PMKv. Secara umum bila dilihat berdasarkan rerata gain, kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa PSR lebih baik daripada siswa PKv.

J. Saran

Bagi guru, bila guru akan mengajar dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman, dan penalaran matematis dalam satu kesatuan yang komprehensif, maka pembelajaran dengan strategi REACT dapat dijadikan salah satu alternatif dalam pembelajaran. Agar implementasinya dapat mencapai hasil yang memuaskan, dalam penerapannya guru perlu memperhatikan: a bahan ajar untuk siswa harus relevan dan tepat, selanjutnya bahan ajar tersebut harus dirancang secara khusus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, sehingga terjadi proses belajar pada siswa yang mampu mengoptimalkan peningkatan kemampuan pemahaman, dan penalaran matematis, b pada waktu siswa sedang berusaha memecahkan persoalan yang dihadapinya, guru jangan terlalu cepat memberikan jawaban, tetapi berusaha memberikan arahan dengan pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang mengarah pada penyelesaian persoalan, dan c perlu penguasaan yang memadai baik secara teoritik maupun aplikatif, tentang pendekatan pembelajaran dengan strategi REACT ini. Daftar Pustaka Crawford. 2001. Teching Contextuallly. Texas: CCI Publishing, Inc. Hudoyo, H. 2003. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah Seminar Nasional, tanggal 27-28 Maret 2003. PPS IKIP Malang. Malang: Tidak Diterbitkan. Keedy, M.L. 1963. A Modern Introduction to Basic Mathematics. USA: Addison-Wesley Publishing Company, Inc. Kusumah, Y.S. 2005. Peranan Matematika dalam Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi: Studi Tentang Penerapan Model Pembelajaran Interaktif Tipe Permainan untuk meningkatkan Pemahaman Matematik dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA. Prosiding Seminar Nasional Matematika, 20 Agustus 2005. Bandung: UPI. NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. USA: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc. NCTM. 1989. Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. USA: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc. Ruseffendi, E.T. 2006. Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Sabandar, J. 2001. Aspek Kontekstual dalam Soal Matematika dalam Soal Realistic Mathematics Education. Makalah Disampaikan pada Seminar Realistic Mathematics Education, tanggal 4 April 2001. UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan. Setiawan, I. dan Sitompul, I. 2007. Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Bandung: Mizan Learning Center. Skemp, R.R. 1975. The Psychology of Learning Mathematics. England: Penguin Books. Sobel, M.A. dan Maletsky, E.M. 2001. Teaching Mathematics. USA: Pearson Education Limited. Suherman, E. dan Winataputra, U. 1993. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka. Sukestiyarno. 2003. Operasional Penerapan CTL Contextual Teaching and Learning dalam Bidang Matematika di Sekolah Sesuai Tuntutan KBK. Makalah Seminar Nasional, tanggal 27-28 Maret 2003. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta: Tidak Diterbitkan. Sumarmo, U. 2003. Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika pada Siswa Sekolah Menengah. Makalah Seminar Nasional , tanggal 25-26 Agustus 2003. FPMIPA-UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan. Zulkardi. 2001. Realistic Mathematics Education RME: Teori, Contoh Pembelajaran dan Taman Belajar di Internet. Makalah Disampaikan pada Seminar Realistic Mathematics Education, tanggal 4 April 2001. UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan. APAKAH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TAI DAPAT MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA SMA? Endah Setyarini SMA Negeri 1 Wates,Kulon Progo, Yogyakarta; endah090871gmail.com Abstrak . Masalah kepercayaan diri self confidence merupakan masalah yang umum bagi semua siswa ketika menghadapi pelajaran matematika. Namun demikian, guru harus mengusahakan berbagai cara untuk dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka ketika belajar matematika. Harapannya dengan meningkatnya rasa percaya diri, akan semakin memotivasi diri siswa untuk terus belajar dan pada muaranya meningkatkan prestasi belajar. Ada banyak pilihan metode pembelajaran matematika yang dapat dipilih guru, salah satunya adalah metode kooperatif. Model pembelajaran kooperatif TAI Team Assisted Instruction sudah cukup lama dikenal dan banyak dimanfaatkan dalam pembelajaran. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah Model TAI dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa dalam belajar, khususnya belajar matematika? Pada paper ini, penulis mengkaji secara teoritis tentang indikator dari tipe TAI yang dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa. Kata Kunci . Pembelajaran kooperatif, TAI, kepercayaan diri

1. Pendahuluan

Masa remaja dimulai umur 12 tahun dan berakhir pada umur 18 tahun Santrock, 2003 : 26, sehingga masa remaja dialami seseorang ketika duduk dibangku SMP dan SMA atau SMK. Seseorang yang memasuki masa remaja banyak menghadapi persoalan, tantangan hidup, dan mencari jati dirinya. Persoalan-persoalan yang dihadapi remaja, antara lain persoalan dalam keluarga, dalam masyarakat, maupun dalam sekolah. Salah satu persoalan yang dihadapi remaja di sekolah, yaitu mata pelajaran matematika. Sebagian besar remaja menganggap ilmu eksak menjadi momok bagi mereka terutama matematika. Sebagian besar siswa SMA merasa takut dan kurang percaya diri apabila menghadapi pembelajaran matematika sehingga prestasi belajar matematika masih kurang memuaskan. Hal tersebut dibuktikan dengan kurangnya keberanian siswa dalam mempresentasikan jawaban di hadapan teman- teman satu kelas karena kurangnya keyakinan atas kemampuan diri sendiri. Tidak sedikit dari siswa merasa cemas apabila jawaban tersebut salah. Tujuan mata pelajaran matematika dalam pendidikan formal diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 di lampiran 3. Salah satu tujuan tersebut adalah agar peserta didik memiliki kemampuan menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap percaya diri dalam pemecahan masalah Depdiknas, 2006:146. Berdasarkan tujuan pembelajaran tersebut rasa percaya diri merupakan salah satu aspek afektif yang perlu ditumbuhkan dalam pembelajaran matematika Percaya diri kepercayaan diri merupakan salah satu faktor penting agar siswa berhasil dalam mempelajari matematika. Seseorang yang memiliki rasa percaya diri tinggi akan selalu berusaha mengembangkan kemampuannya. Kepercayaan diri mampu menimbulkan sikap optimis dan pantang putus asa dalam meraih sesuatu. Dengan kepercayaan diri yang tinggi seorang siswa akan lebih menghargai dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya sendiri. Selain itu seseorang yang mempunyai kepercayaan diri tinggi akan lebih mudah menyampaikan pendapat dan berkomunikasi dengan yang lain dari pada seseorang yang memiliki kepercayaan diri yang rendah. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Huri Suhendri 2012 bahwa kepercayaan diri berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa. Oleh sebab itu rasa percaya diri siswa harus ditingkatkan. Siswa-siswa di Indonesia memiliki rasa percaya diri yang tergolong rendah. Berdasarkan hasil penelitian Trend in Mathematics and Science Study TIMSS 2012: 338 yang menyatakan bahwa dalam skala internasional hanya 14 siswa yang memiliki kepercayaan diri tinggi terkait kemampuan matematikanya. Sedangkan 45 siswa termasuk dalam kategori sedang, dan 41 sisanya termasuk dalam kategori rendah. Hal serupa juga terjadi pada siswa di Indonesia. Hanya 3 siswa yang memiliki kepercayaan diri tinggi dalam matematika, sedangkan 52 termasuk dalam kategori siswa dengan kepercayaan diri sedang dan 45 termasuk dalam kategori siswa dengan kepercayaan diri. Kepercayaan diri siswa perlu ditingkatkan. Upaya peningkatan kepercayaan diri perlu dilakukan dari berbagai pihak, antara lain oleh siswa dan guru. Beberapa siswa menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit dan mereka lemah dalam hal tersebut. Sifat seperti itu harus diminimalisir karena dapat menyebabkan siswa mudah putus asa dan kurang percaya diri dalam memecahkan masalah matematika. Pembentukan rasa percaya diri tidak lepas dari metode pembelajaran yang digunakan oleh guru ketika belajar di sekolah. Guru, pada umumnya menggunakan metode pembelajaran yang cenderung berpusat pada guru. Siswa menganggap guru merupakan satu-satunya sumber belajar yang utama. Setiap pembelajaran matematika berlangsung, guru menjelaskan terlebih dahulu materi yang akan dipelajari, kemudian guru memberikan contoh soal-soal di papan tulis. siswa mencatat apa yang ditulis guru di papan tulis, selanjutnya siswa diminta guru mengerjakan soal-soal yang berkaitan dengan materi yang sedang dipelajari. Akibatnya siswa tidak mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Metode pembelajaran yang berlangsung seperti itu cenderung membuat siswa menghafal rumus-rumus yang diberikan oleh guru, siswa kurang berinteraksi dengan lingkungan sekitar, misalnya dengan guru dan siswa yang lain. Siswa cenderung bosan selama mengikuti pembelajaran matematika. Metode pembelajaran seperti itu membuat tumbuhnya rasa percaya diri siswa masih kurang karena siswa kurang diberi kesempatan dalam mengekspresikan dirinya ketika belajar. Siswa cenderung kurang yakin atas penyelesaian soal yang telah dibuat dan siswa kurang percaya diri ketika menuliskan jawaban soal di papan tulis. Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru kadang kurang sesuai.