Pemecahan Masalah Dalam Pembelajaran Matematika

matematika. Kekurangmampuan siswa dalam hal ini merupakan sumber dari kesalahan dalam memecahkan masalah matematika. Untuk memecahkan masalah matematika diperlukan langkah langkah konkrit yang tepat sehingga diperoleh jawaban yang benar. Beberapa pandangan dari langkah-langkah pemecahan masalah diajukan oleh beberapa ahli secara terstruktur sehingga memungkinkan kita menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan benar. Witting Williams 1984 mengemukakan langkah-langkah pemecahan masalah secara garis besar adalah 1 merumuskan permasalahan, 2 pengolahan dan penyelesaian masalah, dan 3 mengevaluasi penyelesaian masalah. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pemecahan masalah menggunakan langkah- langkah yang dianjurkan oleh Polya 1985 mengajukan tahap-tahap pemecahan masalah dalam empat tahap yaitu 1 memahami masalah understanding the problem, 2 merencanakan penyelesaian devising a plan, 3 melaksanakan rencana carrying out the plan dan 4 memeriksa kembali proses dan hasil looking back. Ruseffendi 1991 memandang bahwa langkah-langkah Polya bisa dilengkapi dengan langkah-langkah tambahan, selanjutnya ia mengajukan modifikasi langkah-langkah Polya itu sebagai berikut, 1 menulis kembali soalnya dengan kata-kata sendiri, 2 menulis persamaannya, 3 menulis cara-cara menyelesaikannya sebagai strategi pemecahan, 4 mendiskusikan cara- cara penyelesaian tersebut, 5 mengerjakan, 6 memeriksa kembali hasilnya, 7 memilih cara penyelesaian. Dari berbagai tahapan pemecahan masalah yang dikemukakan di atas, pada hakekatnya tidak terdapat perbedaan yang berarti. Pada dasarnya semua tahapan pemecahan masalah yang diuraikan di atas memuat tahapan-tahapan pokok seperti yang dikemukakan oleh Polya.

2.2. Komunikasi Matematik

Sulivan dan Mousley 1996 mengemukakan bahwa komunikasi matematik tidak hanya sekedar menyatakan idea melalui tulisan tetapi lebih luas lagi, yaitu kemampuan siswa dalam hal menyatakan, menjelaskan menggambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerja sama. Sementara itu NCTM 1989 mengemukakan bahwa komunikasi matematik adalah kemampuan siswa dalam hal: 1 membaca dan menulis matematika dan menafsirkan makna dan idea dari tulisan itu, 2 mengungkapkan dan menjelaskan pemikiran mereka tentang idea matematika dan hubungannya, 3 merumuskan defenisi matematika dan membuat generalisasi yang ditemui melalui investigasi, 4 menuliskan sajian matematika dengan pengertian, 5 menggunakan kosakatabahasa, notasi struktur secara matematika untuk menyajikan idea menggambarkan hubungan, dan pembuatan model, 6 memahami, menafsirkan dan menilai idea yang disajikan secara lisan, dalam tulisan atau dalam bentuk visual, 7 mengamati dan membuat dugaan, merumuskan pertanyaan, mengumpulkan dan menilai informasi, dan 8 menghasilkan dan menyajikan argumen yang meyakinkan. Greenes dan Schulman 1996 mengatakan bahwa komunikasi matematik merupakan 1 kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan strategi, 2 modal keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematika, 3 wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi, berbagi pikiran dan penemuan curah pendapat, menilai dan mempertajam idea untuk meyakinkan yang lain. Bahkan Within dan Within 2000 menyebutkan pengembangan kemampuan personal siswa mengenai talking dan writing merupakan tujuan yang sangat penting dalam memasuki abad ke-21. Menurut Cobb Sandra, 1999, dengan mengkomunikasikan pengetahuan yang dimiliki siswa, dapat terjadi renegosiasi respon antar siswa, guru hanya berperan sebagai “filter” dalam pembelajaran. Cai dan Patricia 2000 berpendapat bahwa guru dapat mempercepat peningkatan komunikasi matematik dengan cara memberikan tugas matematika dalam berbagai variasi. Komunikasi matematik akan berperan efektif manakala guru mengkondisikan siswa agar mendengarkan secara aktif listen actively sebaik mereka mempercakapkannya. Kemampuan berkomunikasi dalam matematika merupakan kemampuan yang dapat menyertai dan memuat berbagai kesempatan untuk berkomunikasi dalam bentuk:  Merefleksikan benda-benda nyata, gambar, atau idea-idea matematika;  Membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode lisan, tertulis, konkrit, grafik, dan aljabar;  Menggunakan keahlian membaca, menulis dan menelaah, untuk menginterpretasi dan mengevaluasi idea-idea, simbol-simbol, istilah, serta informasi matematika;  Merespon suatu pertanyaanpersoalan dalam bentuk argumen yang meyakinkan.NCTM,1989.

2.3. Penerapan

Model pembelajaran Penemuan Terbimbing Dengan Menggunakan Tugas Superitem dalam Pembelajaran Matematika Biggs dan Collis melakukan studi tentang struktur hasil belajar dengan tes yang disusun dalam bentuk superitem. Biggs dan Collis dalam temuannya mengemukakan bahwa pada tiap tahap atau level kognitif terdapat struktur respon yang sama dan makin meningkat dari yang sederhana sampai yang abstrak. Struktur tersebut dinamakan Taksonomi SOLO Structure of the Observed Learning Outcome. Berdasarkan kualitas model respon anak, tahap SOLO anak diklasifikasikan pada empat tahap atau level yaitu unistruktural, multistruktural, relasional, dan abstrak. Deskripsi dari masing-masing tahap dalam siklus belajar tersebut adalah sebagai berikut: a. Prestuktural yang ciri-cirinya adalah menolak untuk memberi jawaban, menjawab secara tepat atas dasar pengamatan dan emosi tanpa dasar yang logis dan mengulang pertanyaan. b. Unistruktural yang ciri-cirinya adalah menarik kesimpulan hanya berdasarkan satu data yang cocok secara konkrit. c. Multistruktural yang cirri-cirinya adalah dapat menarik kesimpulan berdasarkan dua data atau lebih atau konsep yang cocok, berdiri sendiri atau terpisah.